wadowh teman,
mungkin masih ingat dgn program besar di bidang partisipasi runggun yang namanya Pesta Kebangunan Iman dalam merayakan Paskah yg rencananya puncaknya diadakan tgl 10 Mei 2008. Nah tempo ari kan kita rencana mau buat sesuatu yg beda, dimana jauh” hari sebelumnya atau paling ga sebulan sebelumnya kita mau buat berbagai aksi seperti lomba seni, lomba pidato, serta semacam aksi sosial gitu kan? dan aksi ini kita ga ketutup sama GBKP aja, rencananya se-Sumut gt lah.
Tapi setelah kami singgung kemaren dgn Pak Pendeta, ternyata BPRunggun yg nota bene orang tua kita ternyata rencananya mo ngebuat Perayaan paskah dan sekalian ada acara yang kurang lebih sama dengan acara yang kita rencanakan dari awal, tetapi hanya intern runggun kita aja.. gak ngundang runggun dan gereja lain. Pendeta juga ngajak kita permata untuk bergabung dengan acara yang direncanakan BP Runggun tersebut.
Melimber ??Iya, kita juga jadi pusing ni. Dengan kata lain kita kepaksa ngeyampingkan Pesta Kebangunan Iman kita itu.
Uga si ban dagena ey kalakey ?
Tapi tetap akan kita usahakan yg terbaik ke depannya.
Tetap dukung kami ya, doakan supaya arih; kami dgn BP Runggun dapat berjalan mulus.
Dan juga pendapat, saran dan komen dari teman” skalian sangat kami harapkan.
Enda.Inc
Sumber: gbkp km8 Medan
GBKP (Gereja Batak Karo Protestan) Runggun Perawang, Klasis Riau-Sumbar. Jalan Minas-Perawang Km-15 Perawang. Info: Blog ini bukan blog resmi dari GBKP Runggun Perawang, isi dari Blog ini hanya buah fikiran dari salah satu Jemaat, buat informasi tentang kegiatan dan memperkenalkan Runggun ini kepada kita. Bujur, Dibata simasu-masu kita.
Tuesday, March 18, 2008
Tuesday, March 4, 2008
Pemkab Tangerang Janjikan Lahan untuk Lima Gereja
Selasa, 05 Februari 08 - oleh : admin
Rabu, 14 Desember 2005 - 20:55 WIB
Pemkab Tangerang Janjikan Lahan untuk Lima Gereja
Lima gereja yang terletak di tanah Sekretariat Negara (Setgneg), Desa Bencongan dan Desa Bencongan Indah, Kecamatan Curug, Kabupaten Tangerang, yang dibongkar paksa satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), dijanjikan akan mendapatkan lahan pengganti.
Janji ini diberikan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab Tangerang). Namun, kapan realisasi janji ini belum dapat dipastikan para pengurus gereja.
Lahan pengganti gereja mereka itu direncakan berasal dari lahan fasilitas umum (fasum) dan fasilitis sosial (fasos).
“Melalui staf Bupati Tangerang, kami sudah dijanjikan akan mendapatkan lahan fasilitas umum dan fasilitas sosial dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tangerang, jadi kami tidak akan melanjutkan kasus ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) lagi,” tutur Pengurus Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) Hendrik Manulu, Selasa (13/12), Sinar Harapan memberitakan.
Dia menyatakan pihaknya percaya pihak Pemkab Tangerang akan memenuhi keinginan sejumlah gereja untuk mendapatkan lahan pengganti gereja mereka yang dibongkar Satpol PP beberapa waktu lalu. “Kami percaya Pemkab Tangerang punya kebijaksanaan dan akan memberikan lahan pengganti bagi kami,” tutur Hendrik.
Kini, tuturnya, pihaknya hanya tinggal menunggu realisasinya. Ia menambahkan, pihaknya juga telah mendapatkan dukungan penuh dari Persatuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Banten untuk mendapatkan lahan sebagai tempat mendirikan rumah ibadah.
“Kami akan terus berkoordinasi dengan PGI Banten untuk mendapatkan lahan pengganti gereja yang tergusur tersebut,” tutur Hendrik.
Mengenai tempat ibadah sementara, lanjutnya, gerejanya terpaksa meminjam gedung Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) Curug. “Sementara ini, kami menumpang di GBKP untuk kebaktian, sedangkan pada perayaan Natal nanti pihaknya akan meminjam gedung milik Mutiara Kasih yang letaknya tidak berapa jauh dari lokasi bekas gereja kami,” tuturnya.
Humas Pemkab Tangerang, Achmad Djabir yang dikonfirmasi SH, Selasa (13/12), menyatakan belum mengetahui mengenai rencana pemberian lahan fasum/ fasos tersebut. “Sampai saat ini, saya belum menerima laporan soal rencana pemberian lahan kepada lima gereja di Curug yang dibongkar satpol PP itu. Tapi, nanti akan saya cek kembali ke sejumlah dinas yang ada,” tuturnya.
Sebelumnya, Pemkab Tangerang telah melakukan pembongkaran terhadap lima gereja yang berada di lahan Setneg di Desa Bencongan dan Bencongan Indah masing-masing adalah Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI), Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Gereja Bethel Indonesia (GBI), Gereja Pantekosta Indonesia (GPI), Gereja Pantekosta Halleluya Indonesia (GPHI) serta sebuah musola karena mereka tidak memiliki izin mendirikan bangunan (IMB) sesuai perda nomor 10 tahun 2001 tentang IMB.
Namun, ini yang kemudian ditentang oleh pihak gereja dengan mengatakan bahwa gedung gereja mereka telah berdiri lebih dulu dibandingkan kemunculan perda. Maka, kemudian muncul wacana pihak gereja akan melakukan gugatan ke PTUN karena kebijakan pembongkaran itu dianggap menyalahi aturan. (lukas)
Sumber: http://partaidamaisejahtera.com/terkini.php?news_id=522&title=Pemkab+Tangerang+Janjikan+Lahan+untuk+Lima+Gereja
Dibata gelah simasu-masu kita. Bujur man Dibata, bujur man banta kerina. Amin.
Tabi ras Mejuah-juah,
Pt.Mascottaria Purba
http://gbkpinfo.to.md
mascot.taria@gmail.com (YM: mascottaria)
Rabu, 14 Desember 2005 - 20:55 WIB
Pemkab Tangerang Janjikan Lahan untuk Lima Gereja
Lima gereja yang terletak di tanah Sekretariat Negara (Setgneg), Desa Bencongan dan Desa Bencongan Indah, Kecamatan Curug, Kabupaten Tangerang, yang dibongkar paksa satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), dijanjikan akan mendapatkan lahan pengganti.
Janji ini diberikan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab Tangerang). Namun, kapan realisasi janji ini belum dapat dipastikan para pengurus gereja.
Lahan pengganti gereja mereka itu direncakan berasal dari lahan fasilitas umum (fasum) dan fasilitis sosial (fasos).
“Melalui staf Bupati Tangerang, kami sudah dijanjikan akan mendapatkan lahan fasilitas umum dan fasilitas sosial dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tangerang, jadi kami tidak akan melanjutkan kasus ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) lagi,” tutur Pengurus Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) Hendrik Manulu, Selasa (13/12), Sinar Harapan memberitakan.
Dia menyatakan pihaknya percaya pihak Pemkab Tangerang akan memenuhi keinginan sejumlah gereja untuk mendapatkan lahan pengganti gereja mereka yang dibongkar Satpol PP beberapa waktu lalu. “Kami percaya Pemkab Tangerang punya kebijaksanaan dan akan memberikan lahan pengganti bagi kami,” tutur Hendrik.
Kini, tuturnya, pihaknya hanya tinggal menunggu realisasinya. Ia menambahkan, pihaknya juga telah mendapatkan dukungan penuh dari Persatuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Banten untuk mendapatkan lahan sebagai tempat mendirikan rumah ibadah.
“Kami akan terus berkoordinasi dengan PGI Banten untuk mendapatkan lahan pengganti gereja yang tergusur tersebut,” tutur Hendrik.
Mengenai tempat ibadah sementara, lanjutnya, gerejanya terpaksa meminjam gedung Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) Curug. “Sementara ini, kami menumpang di GBKP untuk kebaktian, sedangkan pada perayaan Natal nanti pihaknya akan meminjam gedung milik Mutiara Kasih yang letaknya tidak berapa jauh dari lokasi bekas gereja kami,” tuturnya.
Humas Pemkab Tangerang, Achmad Djabir yang dikonfirmasi SH, Selasa (13/12), menyatakan belum mengetahui mengenai rencana pemberian lahan fasum/ fasos tersebut. “Sampai saat ini, saya belum menerima laporan soal rencana pemberian lahan kepada lima gereja di Curug yang dibongkar satpol PP itu. Tapi, nanti akan saya cek kembali ke sejumlah dinas yang ada,” tuturnya.
Sebelumnya, Pemkab Tangerang telah melakukan pembongkaran terhadap lima gereja yang berada di lahan Setneg di Desa Bencongan dan Bencongan Indah masing-masing adalah Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI), Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Gereja Bethel Indonesia (GBI), Gereja Pantekosta Indonesia (GPI), Gereja Pantekosta Halleluya Indonesia (GPHI) serta sebuah musola karena mereka tidak memiliki izin mendirikan bangunan (IMB) sesuai perda nomor 10 tahun 2001 tentang IMB.
Namun, ini yang kemudian ditentang oleh pihak gereja dengan mengatakan bahwa gedung gereja mereka telah berdiri lebih dulu dibandingkan kemunculan perda. Maka, kemudian muncul wacana pihak gereja akan melakukan gugatan ke PTUN karena kebijakan pembongkaran itu dianggap menyalahi aturan. (lukas)
Sumber: http://partaidamaisejahtera.com/terkini.php?news_id=522&title=Pemkab+Tangerang+Janjikan+Lahan+untuk+Lima+Gereja
Dibata gelah simasu-masu kita. Bujur man Dibata, bujur man banta kerina. Amin.
Tabi ras Mejuah-juah,
Pt.Mascottaria Purba
http://gbkpinfo.to.md
mascot.taria@gmail.com (YM: mascottaria)
Monday, March 3, 2008
Saudaraku -Kristen-, Maafkan Saya
Saudaraku -Kristen-, Maafkan Saya
Senin, 04 Februari 08 - oleh : admin
Saudaraku -Kristen-, Maafkan Saya
Desember 4, 2007 at 12:45 pm |
Saya masih ingat hari dan tanggal persisnya, minggu 25 november 2007. Hari itu kebetulan saya harus berangkat ke Jakarta untuk memenuhi undangan ceramah pada pukul 10.00, lalu secepatnya kembali ke Bandung guna mengisi acara silaturahmi dengan seluruh keluarga besar Hotel Sheraton & Towers di Dago.
Sekitar jam 05.30, saya diberitahu bahwa di bawah (kamar saya kebetulan di lantai dua) ada saudara Amin Syafari, kawan karib saya yang menjabat ketua DKM Sabilul Huda di daerah Kawaluyaan Bandung. Saya segera bergegas menemuinya, “tumben, pagi-pagi sudah di sini.” Begitu gumam saya dalam hati.
Kawan saya bela-belain datang pagi-pagi ke rumah ternyata untuk memberitahukan bahwa pada pukul 08.00 akan ada aksi damai -demonstrasi- warga terhadap keberadaan gereja yang dianggap liar alias tidak berizin di daerahnya. kalau tidak salah, gereja tersebut adalah tempat beribadat kelompok Gereja Batak Karo Protestan(GBKP).
Sebenarnya saya sudah mendengar keberadaan gereja yang meresahkan warga ini hampir satu tahun yang lalu, karena kebetulan setiap hari minggu saya memberikan pengajian rutin di masjid yang letaknya sekitar 400 meter dari gereja tersebut. Gereja tersebut dinilai liar karena belum mengantongi izin resmi sesuai prosedur formal, di samping tempatnya sendiri memanfaatkan sebuah GOR (Gelanggang Olah Raga) bulu tangkis.
Ayah saya yang kebetulan turut dalam perbincangan pagi itu, mewanti-wanti agar penanggungjawab aksi memperhatikan dan mewaspadai kemungkinan timbulnya anarkisme saat pelaksanaan demo. Saudara Amin menyanggupi dan menjamin bahwa aksi ini tidak akan berujung pada perusakan dan tindakan-tindakan anarkis. Sebelum pulang, saya menyatakan akan datang ke lokasi untuk ikut membantu menjaga hal-hal yang tidak diinginkan. Jujur saja, saya agak khawatir karena menurut informasi yang saya terima, aksi ini juga melibatkan beberapa ormas islam. Andai saja peserta aksinya hanya warga kawaluyaan, saya tidak akan terlalu khawatir, karena saya insya Allah hafal dengan karakter masyarakat setempat yang nyunda dan nyantri, santun dan tidak suka kekerasan.
Sekitar jam 7 pagi saya segera berangkat ke Kawaluyaan dengan mengendarai sepeda motor. Di lokasi, puluhan personil kepolisian dari polsek dibantu Dalmas dari Polres bandung timur sudah bersiap. Adapun massa pada saat itu masih terkonsentrasi di depan mulut gang menuju masjid Sabilul Huda, sekitar 400 meter dari GOR. Kordinator aksi memang telah memberitahukan secara resmi kepada kepolisian perihal rencana aksi pada hari itu.
Baru saja saya hendak memarkirkan motor di pinggir jalan, saya dihampiri oleh Lurah setempat dan diajak masuk ke dalam rumah salah seorang warga (kalau tidak salah, beliah mantan pejabat RW setempat). Kami berbincang-bincang cukup lama. Intinya, Pak Lurah mencoba menggali informasi dari saya mengenai latar belakang dan hal-hal lainnya, terkait aksi warga. Tidak lupa Pak Lurah secara pribadi meminta saya untuk ikut menjaga serta menenangkan warga guna menghindari anarkisme.
Selesai bertukar fikiran, saya segera menuju ke GOR untuk mendahului massa yang sudah mulai berjalan pelan namun pasti dan rapi mendekati GOR, tentunya sambil membawa puluhan tulisan di atas kertas besar dan spanduk.
Di depan gerbang GOR yang terkunci, saya mendapati beberapa orang sedang berdiri menunggu warga. Saya terlebih dahulu mengenalkan diri kepada mereka. Salahsatunya kemudian mengenalkan diri sebagai intel dari Kodim, adapun yang satunya lagi ternyata penanggungjawab atau koordinator gereja bernama Sembiring.
Kami kemudian terlibat perbincangan. Satu hal yang saya tanyakan adalah mengenai kebenaran berita bahwa gereja tersebut menggunakan jasa pengamanan dari salahsatu ormas pemuda di Bandung. Mereka mengklarifikasi bahwa hal tersebut tidak benar. Saya kemudian menyarankan agar jemaat yang tengah beribadah dan para pengurus agar tetap tenang, tidak panik dan menyelesaikan ibadahnya. Saya juga menyempatkan diri untuk masuk kedalam GOR, dan di dalam saya melihat jemaat sedang khusyuk berdoa dipimpin oleh pendeta. Jelas sekali nampak dari wajah-wajah mereka pancaran ketakutan dan kecemasan yang luar biasa. Perasaan yang saya kira sangat wajar, dan akan hinggap dalam benak siapapun yang berada pada posisi seperti mereka.
Akhirnya, sampailah massa di depan GOR. Subhanallah, saya acungkan dua jempol! Kekhawatiran saya sirna seketika ketika melihat ternyata massa tidak menampakkan wajah-wajah beringas, apalagi berteriak-teriak kasar dan intimidatif. Hanya sesekali terdengar yel-yel dan teriakan takbir. Orasi lebih didominasi oleh koordinator aksi, dan massa sama sekali tidak diberikan kesempatan untuk bersikap konfrontatif. Bahkan massa kemudian duduk rapi di depan gerbang GOR.
Tuntutan massa hanya satu, yaitu penghentian kegiatan keagamaan di GOR mengingat hal tersebut dinilai menyalahi aturan dan berpotensi menimbulkan konflik dengan warga setempat. Camat yang juga kebetulan hadir kemudian didaulat untuk mengeluarkan surat keputusan atau setidaknya mendesak agar pihak GBKP pada hari itu juga menyatakan akan menghentikan kegiatan keagamaan di GOR tersebut, dengan membuat pernyataan di atas materai.
Singkat cerita, berakhirlah aksi damai warga sejalan dengan disepakatinya sebuah keputusan dari pihak GBKP untuk tidak lagi menyelenggarakan kegiatan peribadatan di GOR.
Saya yang berada di lokasi aksi -bukan dalam kapasitas sebagai apapun melainkan hanya sekedar “peninjau”- ikut menarik nafas lega karena semuanya berakhir tanpa kekerasan. Selama aksi berlangsung, berbagai perasaan berkecamuk dalam hati saya. Rasa iba, kasihan sekaligus sedih bercampur aduk. Namun saya juga tidak bisa menyalahkan sikap warga yang menolak keberadaan gereja di wilayahnya. Dari sisi hukum saja, pengalihfungsian sarana umum (GOR) menjadi rumah ibadah tanpa izin adalah tidak dibenarkan.
Namun saya juga ikut iba dan bersedih melihat wajah-wajah saudara-saudaraku yang kebetulan kristen. Wajah-wajah yang menampakkan ketakutan, kegelisahan juga kebingungan. Bingung karena mungkin mereka berfikir di mana minggu besok mereka akan menyelenggarakan peribadatan.
Saya hanya membayangkan, andai saja kita ummat Islam yang berada pada posisi sebaliknya. Kita yang minoritas, mereka yang mayoritas. Kita yang didemo dan mereka yang mendemo kita saat tengah melaksanakan salat jum’at (misalnya) di sebuah GOR dengan terpaksa, karena kita belum memiliki masjid yang representatif.
Dalam catatan ini, pertama saya ingin mengucapkan penghargaan kepada warga kawaluyaan yang telah dapat menjaga ketertiban dan keamanan selam aksi berlangsung. Insya Allah, apa yang anda sekalian lakukan itu muncul dari dorongan niat karena Allah. Semoga Allah membalasnya.
Untuk saudara-saudaraku umat kristen, khususnya GBKP Kawaluyaan, saya atas nama pribadi mengucapkan permohonan maaf atas ketidaknyamanan dan hujan kegelisahan yang anda rasakan saat aksi berlangsung. Semoga anda menemukan tempat lain yang lebih baik.
Sebagai penutup catatan ini, saya tegaskan bahwa saya tidak dalam posisi membela siapapun atau memberikan pembenaran kepada pihak manapun. Saya hanya seorang muslim Indonesia yang memiliki sejuta mimpi, agar di bumi pertiwi ini tidak ada satupun anak bangsa yang merasa tersakiti, diperlakukan tidak adil atau merasa dipinggirkan. Andai saja saya presidennya… hehehehe…
Sumber: http://aulahikmah.wordpress.com/2007/12/04/saudaraku-kristen-maafkan-saya/
Dibata gelah simasu-masu kita. Bujur man Dibata, bujur man banta kerina. Amin.
Tabi ras Mejuah-juah,
Pt.Mascottaria Purba
http://gbkpinfo.to.md
mascot.taria@gmail.com (YM: mascottaria)
Senin, 04 Februari 08 - oleh : admin
Saudaraku -Kristen-, Maafkan Saya
Desember 4, 2007 at 12:45 pm |
Saya masih ingat hari dan tanggal persisnya, minggu 25 november 2007. Hari itu kebetulan saya harus berangkat ke Jakarta untuk memenuhi undangan ceramah pada pukul 10.00, lalu secepatnya kembali ke Bandung guna mengisi acara silaturahmi dengan seluruh keluarga besar Hotel Sheraton & Towers di Dago.
Sekitar jam 05.30, saya diberitahu bahwa di bawah (kamar saya kebetulan di lantai dua) ada saudara Amin Syafari, kawan karib saya yang menjabat ketua DKM Sabilul Huda di daerah Kawaluyaan Bandung. Saya segera bergegas menemuinya, “tumben, pagi-pagi sudah di sini.” Begitu gumam saya dalam hati.
Kawan saya bela-belain datang pagi-pagi ke rumah ternyata untuk memberitahukan bahwa pada pukul 08.00 akan ada aksi damai -demonstrasi- warga terhadap keberadaan gereja yang dianggap liar alias tidak berizin di daerahnya. kalau tidak salah, gereja tersebut adalah tempat beribadat kelompok Gereja Batak Karo Protestan(GBKP).
Sebenarnya saya sudah mendengar keberadaan gereja yang meresahkan warga ini hampir satu tahun yang lalu, karena kebetulan setiap hari minggu saya memberikan pengajian rutin di masjid yang letaknya sekitar 400 meter dari gereja tersebut. Gereja tersebut dinilai liar karena belum mengantongi izin resmi sesuai prosedur formal, di samping tempatnya sendiri memanfaatkan sebuah GOR (Gelanggang Olah Raga) bulu tangkis.
Ayah saya yang kebetulan turut dalam perbincangan pagi itu, mewanti-wanti agar penanggungjawab aksi memperhatikan dan mewaspadai kemungkinan timbulnya anarkisme saat pelaksanaan demo. Saudara Amin menyanggupi dan menjamin bahwa aksi ini tidak akan berujung pada perusakan dan tindakan-tindakan anarkis. Sebelum pulang, saya menyatakan akan datang ke lokasi untuk ikut membantu menjaga hal-hal yang tidak diinginkan. Jujur saja, saya agak khawatir karena menurut informasi yang saya terima, aksi ini juga melibatkan beberapa ormas islam. Andai saja peserta aksinya hanya warga kawaluyaan, saya tidak akan terlalu khawatir, karena saya insya Allah hafal dengan karakter masyarakat setempat yang nyunda dan nyantri, santun dan tidak suka kekerasan.
Sekitar jam 7 pagi saya segera berangkat ke Kawaluyaan dengan mengendarai sepeda motor. Di lokasi, puluhan personil kepolisian dari polsek dibantu Dalmas dari Polres bandung timur sudah bersiap. Adapun massa pada saat itu masih terkonsentrasi di depan mulut gang menuju masjid Sabilul Huda, sekitar 400 meter dari GOR. Kordinator aksi memang telah memberitahukan secara resmi kepada kepolisian perihal rencana aksi pada hari itu.
Baru saja saya hendak memarkirkan motor di pinggir jalan, saya dihampiri oleh Lurah setempat dan diajak masuk ke dalam rumah salah seorang warga (kalau tidak salah, beliah mantan pejabat RW setempat). Kami berbincang-bincang cukup lama. Intinya, Pak Lurah mencoba menggali informasi dari saya mengenai latar belakang dan hal-hal lainnya, terkait aksi warga. Tidak lupa Pak Lurah secara pribadi meminta saya untuk ikut menjaga serta menenangkan warga guna menghindari anarkisme.
Selesai bertukar fikiran, saya segera menuju ke GOR untuk mendahului massa yang sudah mulai berjalan pelan namun pasti dan rapi mendekati GOR, tentunya sambil membawa puluhan tulisan di atas kertas besar dan spanduk.
Di depan gerbang GOR yang terkunci, saya mendapati beberapa orang sedang berdiri menunggu warga. Saya terlebih dahulu mengenalkan diri kepada mereka. Salahsatunya kemudian mengenalkan diri sebagai intel dari Kodim, adapun yang satunya lagi ternyata penanggungjawab atau koordinator gereja bernama Sembiring.
Kami kemudian terlibat perbincangan. Satu hal yang saya tanyakan adalah mengenai kebenaran berita bahwa gereja tersebut menggunakan jasa pengamanan dari salahsatu ormas pemuda di Bandung. Mereka mengklarifikasi bahwa hal tersebut tidak benar. Saya kemudian menyarankan agar jemaat yang tengah beribadah dan para pengurus agar tetap tenang, tidak panik dan menyelesaikan ibadahnya. Saya juga menyempatkan diri untuk masuk kedalam GOR, dan di dalam saya melihat jemaat sedang khusyuk berdoa dipimpin oleh pendeta. Jelas sekali nampak dari wajah-wajah mereka pancaran ketakutan dan kecemasan yang luar biasa. Perasaan yang saya kira sangat wajar, dan akan hinggap dalam benak siapapun yang berada pada posisi seperti mereka.
Akhirnya, sampailah massa di depan GOR. Subhanallah, saya acungkan dua jempol! Kekhawatiran saya sirna seketika ketika melihat ternyata massa tidak menampakkan wajah-wajah beringas, apalagi berteriak-teriak kasar dan intimidatif. Hanya sesekali terdengar yel-yel dan teriakan takbir. Orasi lebih didominasi oleh koordinator aksi, dan massa sama sekali tidak diberikan kesempatan untuk bersikap konfrontatif. Bahkan massa kemudian duduk rapi di depan gerbang GOR.
Tuntutan massa hanya satu, yaitu penghentian kegiatan keagamaan di GOR mengingat hal tersebut dinilai menyalahi aturan dan berpotensi menimbulkan konflik dengan warga setempat. Camat yang juga kebetulan hadir kemudian didaulat untuk mengeluarkan surat keputusan atau setidaknya mendesak agar pihak GBKP pada hari itu juga menyatakan akan menghentikan kegiatan keagamaan di GOR tersebut, dengan membuat pernyataan di atas materai.
Singkat cerita, berakhirlah aksi damai warga sejalan dengan disepakatinya sebuah keputusan dari pihak GBKP untuk tidak lagi menyelenggarakan kegiatan peribadatan di GOR.
Saya yang berada di lokasi aksi -bukan dalam kapasitas sebagai apapun melainkan hanya sekedar “peninjau”- ikut menarik nafas lega karena semuanya berakhir tanpa kekerasan. Selama aksi berlangsung, berbagai perasaan berkecamuk dalam hati saya. Rasa iba, kasihan sekaligus sedih bercampur aduk. Namun saya juga tidak bisa menyalahkan sikap warga yang menolak keberadaan gereja di wilayahnya. Dari sisi hukum saja, pengalihfungsian sarana umum (GOR) menjadi rumah ibadah tanpa izin adalah tidak dibenarkan.
Namun saya juga ikut iba dan bersedih melihat wajah-wajah saudara-saudaraku yang kebetulan kristen. Wajah-wajah yang menampakkan ketakutan, kegelisahan juga kebingungan. Bingung karena mungkin mereka berfikir di mana minggu besok mereka akan menyelenggarakan peribadatan.
Saya hanya membayangkan, andai saja kita ummat Islam yang berada pada posisi sebaliknya. Kita yang minoritas, mereka yang mayoritas. Kita yang didemo dan mereka yang mendemo kita saat tengah melaksanakan salat jum’at (misalnya) di sebuah GOR dengan terpaksa, karena kita belum memiliki masjid yang representatif.
Dalam catatan ini, pertama saya ingin mengucapkan penghargaan kepada warga kawaluyaan yang telah dapat menjaga ketertiban dan keamanan selam aksi berlangsung. Insya Allah, apa yang anda sekalian lakukan itu muncul dari dorongan niat karena Allah. Semoga Allah membalasnya.
Untuk saudara-saudaraku umat kristen, khususnya GBKP Kawaluyaan, saya atas nama pribadi mengucapkan permohonan maaf atas ketidaknyamanan dan hujan kegelisahan yang anda rasakan saat aksi berlangsung. Semoga anda menemukan tempat lain yang lebih baik.
Sebagai penutup catatan ini, saya tegaskan bahwa saya tidak dalam posisi membela siapapun atau memberikan pembenaran kepada pihak manapun. Saya hanya seorang muslim Indonesia yang memiliki sejuta mimpi, agar di bumi pertiwi ini tidak ada satupun anak bangsa yang merasa tersakiti, diperlakukan tidak adil atau merasa dipinggirkan. Andai saja saya presidennya… hehehehe…
Sumber: http://aulahikmah.wordpress.com/2007/12/04/saudaraku-kristen-maafkan-saya/
Dibata gelah simasu-masu kita. Bujur man Dibata, bujur man banta kerina. Amin.
Tabi ras Mejuah-juah,
Pt.Mascottaria Purba
http://gbkpinfo.to.md
mascot.taria@gmail.com (YM: mascottaria)
Sunday, March 2, 2008
Permata GBKP Dan Tantangan Masa Depan
Permata GBKP Dan Tantangan Masa Depan
Kamis, 31 Januari 08 - oleh : admin
Menyongsong Mupel Tahun 2006 dan HUT Permata ke 58
(Gbr: SD Masehi, Kabanjahe. Photo: Henndy Ginting)-lihat sumber
Menurut catatan Moderamen menunjukkan bahwa saat ini jumlah runggun dan perpulungen GBKP yang mengadakan perminggun setiap minggu telah lebih dari 700 tempat, dengan kata lain sudah lebih dari 700 gereja GBKP secara keseluruhan dengan jumlah jemaat sekitar 300 ribu jiwa. Suatu jumlah yang tidak sedikit untuk dilayani. Mengutip pendapat Prof. Payung Bangun, bahwa GBKP merupakan lembaga paling besar yang ada di tengah-tengah masyarakat Karo. Ini merupakan bukti bahwa kuasa roh kudus tetap bekerja di gereja kita.
Namun demikian jumlah tenaga pelayan jauh tidak sebanding dengan jumlah jemaat yang ada. Menurut data tahun 2001 jumlah pendeta, guru agama, dan guru evangelis hanya sejumlah 239 orang, (mungkin di tahun ini belum juga menyentuh angka 300 orang). Artinya apa? Ratio pelayan dan yang akan dilayani sangat timpang. Lebih jauh lagi, bahwa lebih dari separuh gereja kita belum memiliki seorang pendeta/pelayan tetap (PKPW). Untuk mengisi kekosongan itu, pertua dan diaken dipilih dari kalangan awam yang jumlahnya sekitar 5000-an. Awam saya artikan sebagai orang yang bukan berlatar-belakang teologis. Disadari atau tidak, jabatan pertua dan diaken bahkan sering dipahami menjadi ajang perebutan kekuasaan. Sehingga kondisi ini membuat pelayanan di gereja kita di beberapa tempat kurang terasa gress. Sehingga wajar muncul pandangan sementara orang bahwa di GBKP kurang ada roh kudus. Padahal yang benar sesungguhnya adalah kurang tenaga pelayan. Dan tentu, tenaga pelayan erat kaitannya dengan kemandirian keuangan serta kualitas SDM-nya sendiri.
Pelayanan Permata
Selama ini pelayanan Permata belumlah maksimal. Contoh klasik yang sering terjadi, yaitu pengurus banyak yang kurang aktif. Bahkan ada yang hanya kelihatan di saat pelantikan saja. Hal ini juga merembet kepada anggota yang apatis terhadap berbagai kegiatan yang dilaksanakan oleh Permata. Sehingga tidak heran ada komentar miring yang mengatakan, Gelah pengurusna e pe la man urusen, enggo me hebat e!, katanya. Padahal sebagai pengurus seharusnya mampu menjadi lokomotif untuk menggerakkan anggotanya supaya turut ambil bagian dalam tugas pelayan di peken anggur Tuhan. Dan, tentu hal itu membutuhkan kemampuan leadership yang memadai, disamping itu perlu menyadari bahwa tugas pelayanan sangat penting bukan sekedar bagi orang lain tetapi juga penting bagi dirinya sendiri dalam proses pembentukan karakternya.
Namun sayang, tidak semua calon peminpin dapat melihat hal tersebut. Bahkan mungkin dirasakan pelayanan itu sebagai beban. Yang kemudian ada Permata yang aktif dan ada yang tidak aktif. Pada akhirnya, pelayanan Permata sering mandeg, loyo, melempem atau paling tidak seperti ungkapan orang Karo, bagi ranting gara, apai ranting e si garana si e lalap isurukken. Artinya, siapa yang aktif dia terus yang diberi tugas. Sudah saat setiap insan Permata turut ambil bagian dalam tugas pelayanan ini, sebab tugas itu adalah kewajiban kita bersama.
Tantangan
Selain tantangan yang kita lihat dari dalam organisasi Permata itu sendiri, berbagai tantangan dari luar Permata juga tidak kalah banyaknya. Apalagi di jaman sekarang ini, bermacam-macam hambatan yang senantiasa menghadang kita. Lingkungan eksternal yang sangat memberi dampak bagi kehidupan Permata misalnya : tekanan ekonomi, gejolak politik, kemajuan teknologi, perubahan sosial yang semakin cepat, persaingan global dan seterusnya.
Permata sebagai organisasi harus mampu mengelola tantangan itu, terutama terhadap perkembangan jaman sebagai dampak kemajuan teknologi dan arus informasi yang semakin deras. Untuk itu, supaya tetap survive organisasi Permata harus tetap terus belajar, sehingga kemudian dapat menjadi learning organization dan dapat beradaptasi dengan lingkungan perubahan.
Dalam konteks persaingan global dimana persaingan yang makin ketat, gereja harus mampu melihat bahwa saingan itu bukan saja berasal dari dalam gereja tetapi juga dari luar gereja yang senantiasa siap 'mencuri' hati jemaat, seperti arus yang semakin materialis dan hedonis di tengah-tengah masyarakat. Dalam konteks persaingan global, para ahli memberikan resep yang mungkin bisa kita adopsi dan kita terapkan dengan melahap formula 3C, yang meliputi :
1. Competency, yaitu kemampuan atau keahlian / kecakapan dalam suatu bidang tertentu yang harus kita miliki.
2. Competition, keahlian tersebut harus mampu berkompetisi dengan orang lain.
3. Countinious, dapat melakukan keterampilan tadi secara terus-menerus.
Untuk itu, Permata ataupun (pelayan) gereja dituntut supaya dapat meng-up grade kemampuannya setiap saat dalam pelayanannya.
Harapan
Tidak dapat dipungkiri, Permata (Persadaan Man Anak Gerejanta) merupakan mata rantai bagi kelangsungan gereja kita di tengah-tengah masyarakat Karo. Supaya tidak ada generasi yang hilang, maka sebagai Permata perlu dibekali pengetahuan yang cukup guna dapat memberi warna dalam perkembangan GBKP di masa yang akan datang. Tantangan itu ada pada Permata sekalian. Bila respon kita apatis, sudah barang tentu dapat dibayangkan bagaimana kelak keberadaan gereja kita. Namun kita percaya, melalui Mupel kali ini dapat mendorong Permata ke arah yang lebih maju. Serta diharapkan, pemuda gereja bisa menjadi agen perubahan (agent of change), dan tentu bukan menjadi korban dari perubahan jaman itu sendiri. Atau paling tidak, Permata dapat mengikuti perkembangan jaman menurut ajaran yang kita pahami. Bujur ras mejuah-juah kita kerina.
Sumber: http://perkantong-samping.blogspot.com/2006/10/permata-gbkp-dan-tantangan-masa-depan.html
Dibata gelah simasu-masu kita. Bujur man Dibata, bujur man banta kerina. Amin.
Tabi ras Mejuah-juah,
Pt.Mascottaria Purba
http://gbkpinfo.to.md
mascot.taria@gmail.com (YM: mascottaria)
Kamis, 31 Januari 08 - oleh : admin
Menyongsong Mupel Tahun 2006 dan HUT Permata ke 58
(Gbr: SD Masehi, Kabanjahe. Photo: Henndy Ginting)-lihat sumber
Menurut catatan Moderamen menunjukkan bahwa saat ini jumlah runggun dan perpulungen GBKP yang mengadakan perminggun setiap minggu telah lebih dari 700 tempat, dengan kata lain sudah lebih dari 700 gereja GBKP secara keseluruhan dengan jumlah jemaat sekitar 300 ribu jiwa. Suatu jumlah yang tidak sedikit untuk dilayani. Mengutip pendapat Prof. Payung Bangun, bahwa GBKP merupakan lembaga paling besar yang ada di tengah-tengah masyarakat Karo. Ini merupakan bukti bahwa kuasa roh kudus tetap bekerja di gereja kita.
Namun demikian jumlah tenaga pelayan jauh tidak sebanding dengan jumlah jemaat yang ada. Menurut data tahun 2001 jumlah pendeta, guru agama, dan guru evangelis hanya sejumlah 239 orang, (mungkin di tahun ini belum juga menyentuh angka 300 orang). Artinya apa? Ratio pelayan dan yang akan dilayani sangat timpang. Lebih jauh lagi, bahwa lebih dari separuh gereja kita belum memiliki seorang pendeta/pelayan tetap (PKPW). Untuk mengisi kekosongan itu, pertua dan diaken dipilih dari kalangan awam yang jumlahnya sekitar 5000-an. Awam saya artikan sebagai orang yang bukan berlatar-belakang teologis. Disadari atau tidak, jabatan pertua dan diaken bahkan sering dipahami menjadi ajang perebutan kekuasaan. Sehingga kondisi ini membuat pelayanan di gereja kita di beberapa tempat kurang terasa gress. Sehingga wajar muncul pandangan sementara orang bahwa di GBKP kurang ada roh kudus. Padahal yang benar sesungguhnya adalah kurang tenaga pelayan. Dan tentu, tenaga pelayan erat kaitannya dengan kemandirian keuangan serta kualitas SDM-nya sendiri.
Pelayanan Permata
Selama ini pelayanan Permata belumlah maksimal. Contoh klasik yang sering terjadi, yaitu pengurus banyak yang kurang aktif. Bahkan ada yang hanya kelihatan di saat pelantikan saja. Hal ini juga merembet kepada anggota yang apatis terhadap berbagai kegiatan yang dilaksanakan oleh Permata. Sehingga tidak heran ada komentar miring yang mengatakan, Gelah pengurusna e pe la man urusen, enggo me hebat e!, katanya. Padahal sebagai pengurus seharusnya mampu menjadi lokomotif untuk menggerakkan anggotanya supaya turut ambil bagian dalam tugas pelayan di peken anggur Tuhan. Dan, tentu hal itu membutuhkan kemampuan leadership yang memadai, disamping itu perlu menyadari bahwa tugas pelayanan sangat penting bukan sekedar bagi orang lain tetapi juga penting bagi dirinya sendiri dalam proses pembentukan karakternya.
Namun sayang, tidak semua calon peminpin dapat melihat hal tersebut. Bahkan mungkin dirasakan pelayanan itu sebagai beban. Yang kemudian ada Permata yang aktif dan ada yang tidak aktif. Pada akhirnya, pelayanan Permata sering mandeg, loyo, melempem atau paling tidak seperti ungkapan orang Karo, bagi ranting gara, apai ranting e si garana si e lalap isurukken. Artinya, siapa yang aktif dia terus yang diberi tugas. Sudah saat setiap insan Permata turut ambil bagian dalam tugas pelayanan ini, sebab tugas itu adalah kewajiban kita bersama.
Tantangan
Selain tantangan yang kita lihat dari dalam organisasi Permata itu sendiri, berbagai tantangan dari luar Permata juga tidak kalah banyaknya. Apalagi di jaman sekarang ini, bermacam-macam hambatan yang senantiasa menghadang kita. Lingkungan eksternal yang sangat memberi dampak bagi kehidupan Permata misalnya : tekanan ekonomi, gejolak politik, kemajuan teknologi, perubahan sosial yang semakin cepat, persaingan global dan seterusnya.
Permata sebagai organisasi harus mampu mengelola tantangan itu, terutama terhadap perkembangan jaman sebagai dampak kemajuan teknologi dan arus informasi yang semakin deras. Untuk itu, supaya tetap survive organisasi Permata harus tetap terus belajar, sehingga kemudian dapat menjadi learning organization dan dapat beradaptasi dengan lingkungan perubahan.
Dalam konteks persaingan global dimana persaingan yang makin ketat, gereja harus mampu melihat bahwa saingan itu bukan saja berasal dari dalam gereja tetapi juga dari luar gereja yang senantiasa siap 'mencuri' hati jemaat, seperti arus yang semakin materialis dan hedonis di tengah-tengah masyarakat. Dalam konteks persaingan global, para ahli memberikan resep yang mungkin bisa kita adopsi dan kita terapkan dengan melahap formula 3C, yang meliputi :
1. Competency, yaitu kemampuan atau keahlian / kecakapan dalam suatu bidang tertentu yang harus kita miliki.
2. Competition, keahlian tersebut harus mampu berkompetisi dengan orang lain.
3. Countinious, dapat melakukan keterampilan tadi secara terus-menerus.
Untuk itu, Permata ataupun (pelayan) gereja dituntut supaya dapat meng-up grade kemampuannya setiap saat dalam pelayanannya.
Harapan
Tidak dapat dipungkiri, Permata (Persadaan Man Anak Gerejanta) merupakan mata rantai bagi kelangsungan gereja kita di tengah-tengah masyarakat Karo. Supaya tidak ada generasi yang hilang, maka sebagai Permata perlu dibekali pengetahuan yang cukup guna dapat memberi warna dalam perkembangan GBKP di masa yang akan datang. Tantangan itu ada pada Permata sekalian. Bila respon kita apatis, sudah barang tentu dapat dibayangkan bagaimana kelak keberadaan gereja kita. Namun kita percaya, melalui Mupel kali ini dapat mendorong Permata ke arah yang lebih maju. Serta diharapkan, pemuda gereja bisa menjadi agen perubahan (agent of change), dan tentu bukan menjadi korban dari perubahan jaman itu sendiri. Atau paling tidak, Permata dapat mengikuti perkembangan jaman menurut ajaran yang kita pahami. Bujur ras mejuah-juah kita kerina.
Sumber: http://perkantong-samping.blogspot.com/2006/10/permata-gbkp-dan-tantangan-masa-depan.html
Dibata gelah simasu-masu kita. Bujur man Dibata, bujur man banta kerina. Amin.
Tabi ras Mejuah-juah,
Pt.Mascottaria Purba
http://gbkpinfo.to.md
mascot.taria@gmail.com (YM: mascottaria)
MINDAWATI PERANGIN-ANGIN
MINDAWATI PERANGIN-ANGIN
Sabtu, 09 Februari 08 - oleh : admin
Calon Anggota Komnas HAM 2007-2012
M RIDHA SALEH (Jakarta)
Menjabat sebagai Deputi Direktur Eksekutif Walhi (2002-2006). Memfasilitasi berbagai lokakarya bidang lingkungan, antara lain Lokakarya Internasional Pulp and Paper. Sering menjadi fasilitator nasional untuk kebijakan partisipatif serta memfasilitasi kasus-kasus pelanggaran HAM dan konflik lingkungan di Indonesia. Juga masuk tim kajian hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob) serta hak atas lingkungan hidup.
Pernah menjadi anggota delegasi NGO untuk sidang Komisi HAM PBB serta mendampingi korban pelanggaran HAM seperti pada kasus petani Manggarai, kasus DAM Koto Panjang, kasus kekerasan di Bojong, kasus pelanggaran HAM Masyarakat Adat Kajang Bulukumba, dan pelanggaran HAM di Kontu dan Runtu. Selain itu, anggota tim penulis Country Report kasus pelanggaran HAM di Indonesia dan anggota Steering Committee Nasional Pembentukan Komisi Nasional Konflik Agararia.
Pernah menjabat sebagai Direktur Yayasan Pendidikan Rakyat (1998-2002), Koordinator Pendidikan OR dan Advokasi Rakyat Yayasan Pendidikan Rakyat (1996-1998), dan Koordinator Monitoring BIMP-EAGA Wilayah Sulawesi Tengah (1995-1997). Dalam posisi-posisi itu menjadi fasilitator serta mendampingi korban berbagai kasus pelanggaran HAM, khususnya kasus lingkungan hidup.
Menulis buku ECOCIDE: Politik Kejahatan Lingkungan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Mendapat rekomendasi dari Direktur Eksekutif Walhi Chalid Muhammad dan Koordinator Kontras Sulawesi Edmond Leonardo S.
M YUSUF ISMAIL PASE (46, Lhokseumawe)
Saat ini bekerja sebagai advokat dan pemimpin Law Firm Pase & Rekan di Lhokseumawe. Sebelum menjadi advokat bergabung dengan berbagai organisasi nonpemerintah, antara lain sebagai Ketua Dewan Pengurus Koalisi NGO HAM Aceh, Dewan Nasional Walhi Aceh, Wakil Ketua Tim Pencari Fakta Pelanggaran HAM Aceh, Ketua Aliansi Jaringan Anti-Korupsi, dan Ketua LSM-LPLHa Aceh. Pernah pula menjadi Koordinator Presidium Majelis Aceh Pase (2000).
Mendapat rekomendasi dari Koordinator Pos Bantuan Hukum & HAM Pidie Heri Saputra; Direktur Lembaga Pos Bantuan Hukum & HAM Aceh Tengah Jufriadi; Direktur Eksekutif Walhi Aceh Cut Hindon; Direktur Eksekutif Koalisi NGO HAM Aceh, Faisal Hadi; Koordinator Dewan Adat Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh & Sekretariat Pelaksana JKMA Aceh, Pang Yuriun & Budi Arianto; Ketua Solidaritas Persaudaraan Korban Pelanggaran HAM Aceh Utara Hasballah; Direktur Eksekutif Walhi Chalid Muhammad.
MARZANI ANWAR (55, Jakarta)
Peneliti bidang kebebasan beragama. Sejak 1984 bergabung sebagai peniliti di Institute Research and Development of Religious (IRDR). Saat ini juga menjadi anggota Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP). Pernah bergabung dengan LP3ES, Yayasan Bina Desa, dan beberapa organisasi kemasyarakatan lain.
Semasa di Departemen Agama merupakan ahli peneliti utama pada Balai Litbang Departemen Agama Jakarta. Pernah menjadi Sekretaris Komite Indonesia untuk Pemberantasan Pornografi dan Pornoaksi (KIPPP) yang dibentuk Menkokesra tahun 2005.
Pada tahun 2005 terlibat dalam Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI yang mengeluarkan Counter Legal Draft (CLD) atas Kompilasi Hukum Islam (KHI). Alumnus IAIN Yogjakarta ini sering dianggap nyleneh oleh kalangan Islam yang lain.
Mendapat rekomendasi dari Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace Djohan Effendi serta Komisioner Komnas HAM Habib Chirzin dan Amidhan.
MINDAWATI PERANGIN-ANGIN (43, Medan)
Pendeta di Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) ini juga Ketua Personalia dan Sumber Daya Manusia GBKP. Mempunyai pengalaman menangani isu-isu HAM, antara lain sebagai anggota Advisory Committee Inter-Faith Dialogue Dewan Gereja Sedunia yang memperjuangkan hak-hak penganut agama minoritas (1998-2005). Pernah mewakili Asia dalam pertemuan Global Economy di Argentina, khususnya ekonomi di negara-negara Selatan yang diselenggarakan Persatuan Gereja Reform Sedunia (2004).
Menjadi Moderator of Faith Mission and Unity Dewan Gereja Asia yang memperjuangkan hak-hak minoritas dari kepercayaan/agama, ekonomi, dan politik di Asia (2005-2010). Sebagai anggota Central Committee Dewan Gereja Dunia yang menangani berbagai international affairs HAM tingkat internasional dan politik internasional (2006-2013).
Wanita kelahiran Medan, Sumatera Utara, ini meraih gelar gelar master bidang teologi dan filsafat di Union Theological Seminary, New York. Gelar PhD bidang agama dari Drew University, Madison, New Jersey.
Mendapat rekomendasi dari Franz Magnis-Suseno dan Koesalah Soebagyo Toer. (*/Litbang VHR)
Sumber: http://www.vhrmedia.net/home/index.php?id=view&aid=4309〈=
Dibata gelah simasu-masu kita. Bujur man Dibata, bujur man banta kerina. Amin.
Tabi ras Mejuah-juah,
Pt.Mascottaria Purba
http://gbkpinfo.to.md
mascot.taria@gmail.com (YM: mascottaria)
Sabtu, 09 Februari 08 - oleh : admin
Calon Anggota Komnas HAM 2007-2012
M RIDHA SALEH (Jakarta)
Menjabat sebagai Deputi Direktur Eksekutif Walhi (2002-2006). Memfasilitasi berbagai lokakarya bidang lingkungan, antara lain Lokakarya Internasional Pulp and Paper. Sering menjadi fasilitator nasional untuk kebijakan partisipatif serta memfasilitasi kasus-kasus pelanggaran HAM dan konflik lingkungan di Indonesia. Juga masuk tim kajian hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob) serta hak atas lingkungan hidup.
Pernah menjadi anggota delegasi NGO untuk sidang Komisi HAM PBB serta mendampingi korban pelanggaran HAM seperti pada kasus petani Manggarai, kasus DAM Koto Panjang, kasus kekerasan di Bojong, kasus pelanggaran HAM Masyarakat Adat Kajang Bulukumba, dan pelanggaran HAM di Kontu dan Runtu. Selain itu, anggota tim penulis Country Report kasus pelanggaran HAM di Indonesia dan anggota Steering Committee Nasional Pembentukan Komisi Nasional Konflik Agararia.
Pernah menjabat sebagai Direktur Yayasan Pendidikan Rakyat (1998-2002), Koordinator Pendidikan OR dan Advokasi Rakyat Yayasan Pendidikan Rakyat (1996-1998), dan Koordinator Monitoring BIMP-EAGA Wilayah Sulawesi Tengah (1995-1997). Dalam posisi-posisi itu menjadi fasilitator serta mendampingi korban berbagai kasus pelanggaran HAM, khususnya kasus lingkungan hidup.
Menulis buku ECOCIDE: Politik Kejahatan Lingkungan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Mendapat rekomendasi dari Direktur Eksekutif Walhi Chalid Muhammad dan Koordinator Kontras Sulawesi Edmond Leonardo S.
M YUSUF ISMAIL PASE (46, Lhokseumawe)
Saat ini bekerja sebagai advokat dan pemimpin Law Firm Pase & Rekan di Lhokseumawe. Sebelum menjadi advokat bergabung dengan berbagai organisasi nonpemerintah, antara lain sebagai Ketua Dewan Pengurus Koalisi NGO HAM Aceh, Dewan Nasional Walhi Aceh, Wakil Ketua Tim Pencari Fakta Pelanggaran HAM Aceh, Ketua Aliansi Jaringan Anti-Korupsi, dan Ketua LSM-LPLHa Aceh. Pernah pula menjadi Koordinator Presidium Majelis Aceh Pase (2000).
Mendapat rekomendasi dari Koordinator Pos Bantuan Hukum & HAM Pidie Heri Saputra; Direktur Lembaga Pos Bantuan Hukum & HAM Aceh Tengah Jufriadi; Direktur Eksekutif Walhi Aceh Cut Hindon; Direktur Eksekutif Koalisi NGO HAM Aceh, Faisal Hadi; Koordinator Dewan Adat Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh & Sekretariat Pelaksana JKMA Aceh, Pang Yuriun & Budi Arianto; Ketua Solidaritas Persaudaraan Korban Pelanggaran HAM Aceh Utara Hasballah; Direktur Eksekutif Walhi Chalid Muhammad.
MARZANI ANWAR (55, Jakarta)
Peneliti bidang kebebasan beragama. Sejak 1984 bergabung sebagai peniliti di Institute Research and Development of Religious (IRDR). Saat ini juga menjadi anggota Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP). Pernah bergabung dengan LP3ES, Yayasan Bina Desa, dan beberapa organisasi kemasyarakatan lain.
Semasa di Departemen Agama merupakan ahli peneliti utama pada Balai Litbang Departemen Agama Jakarta. Pernah menjadi Sekretaris Komite Indonesia untuk Pemberantasan Pornografi dan Pornoaksi (KIPPP) yang dibentuk Menkokesra tahun 2005.
Pada tahun 2005 terlibat dalam Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI yang mengeluarkan Counter Legal Draft (CLD) atas Kompilasi Hukum Islam (KHI). Alumnus IAIN Yogjakarta ini sering dianggap nyleneh oleh kalangan Islam yang lain.
Mendapat rekomendasi dari Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace Djohan Effendi serta Komisioner Komnas HAM Habib Chirzin dan Amidhan.
MINDAWATI PERANGIN-ANGIN (43, Medan)
Pendeta di Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) ini juga Ketua Personalia dan Sumber Daya Manusia GBKP. Mempunyai pengalaman menangani isu-isu HAM, antara lain sebagai anggota Advisory Committee Inter-Faith Dialogue Dewan Gereja Sedunia yang memperjuangkan hak-hak penganut agama minoritas (1998-2005). Pernah mewakili Asia dalam pertemuan Global Economy di Argentina, khususnya ekonomi di negara-negara Selatan yang diselenggarakan Persatuan Gereja Reform Sedunia (2004).
Menjadi Moderator of Faith Mission and Unity Dewan Gereja Asia yang memperjuangkan hak-hak minoritas dari kepercayaan/agama, ekonomi, dan politik di Asia (2005-2010). Sebagai anggota Central Committee Dewan Gereja Dunia yang menangani berbagai international affairs HAM tingkat internasional dan politik internasional (2006-2013).
Wanita kelahiran Medan, Sumatera Utara, ini meraih gelar gelar master bidang teologi dan filsafat di Union Theological Seminary, New York. Gelar PhD bidang agama dari Drew University, Madison, New Jersey.
Mendapat rekomendasi dari Franz Magnis-Suseno dan Koesalah Soebagyo Toer. (*/Litbang VHR)
Sumber: http://www.vhrmedia.net/home/index.php?id=view&aid=4309〈=
Dibata gelah simasu-masu kita. Bujur man Dibata, bujur man banta kerina. Amin.
Tabi ras Mejuah-juah,
Pt.Mascottaria Purba
http://gbkpinfo.to.md
mascot.taria@gmail.com (YM: mascottaria)
Subscribe to:
Posts (Atom)