Saudaraku -Kristen-, Maafkan Saya
Senin, 04 Februari 08 - oleh : admin
Saudaraku -Kristen-, Maafkan Saya
Desember 4, 2007 at 12:45 pm |
Saya masih ingat hari dan tanggal persisnya, minggu 25 november 2007. Hari itu kebetulan saya harus berangkat ke Jakarta untuk memenuhi undangan ceramah pada pukul 10.00, lalu secepatnya kembali ke Bandung guna mengisi acara silaturahmi dengan seluruh keluarga besar Hotel Sheraton & Towers di Dago.
Sekitar jam 05.30, saya diberitahu bahwa di bawah (kamar saya kebetulan di lantai dua) ada saudara Amin Syafari, kawan karib saya yang menjabat ketua DKM Sabilul Huda di daerah Kawaluyaan Bandung. Saya segera bergegas menemuinya, “tumben, pagi-pagi sudah di sini.” Begitu gumam saya dalam hati.
Kawan saya bela-belain datang pagi-pagi ke rumah ternyata untuk memberitahukan bahwa pada pukul 08.00 akan ada aksi damai -demonstrasi- warga terhadap keberadaan gereja yang dianggap liar alias tidak berizin di daerahnya. kalau tidak salah, gereja tersebut adalah tempat beribadat kelompok Gereja Batak Karo Protestan(GBKP).
Sebenarnya saya sudah mendengar keberadaan gereja yang meresahkan warga ini hampir satu tahun yang lalu, karena kebetulan setiap hari minggu saya memberikan pengajian rutin di masjid yang letaknya sekitar 400 meter dari gereja tersebut. Gereja tersebut dinilai liar karena belum mengantongi izin resmi sesuai prosedur formal, di samping tempatnya sendiri memanfaatkan sebuah GOR (Gelanggang Olah Raga) bulu tangkis.
Ayah saya yang kebetulan turut dalam perbincangan pagi itu, mewanti-wanti agar penanggungjawab aksi memperhatikan dan mewaspadai kemungkinan timbulnya anarkisme saat pelaksanaan demo. Saudara Amin menyanggupi dan menjamin bahwa aksi ini tidak akan berujung pada perusakan dan tindakan-tindakan anarkis. Sebelum pulang, saya menyatakan akan datang ke lokasi untuk ikut membantu menjaga hal-hal yang tidak diinginkan. Jujur saja, saya agak khawatir karena menurut informasi yang saya terima, aksi ini juga melibatkan beberapa ormas islam. Andai saja peserta aksinya hanya warga kawaluyaan, saya tidak akan terlalu khawatir, karena saya insya Allah hafal dengan karakter masyarakat setempat yang nyunda dan nyantri, santun dan tidak suka kekerasan.
Sekitar jam 7 pagi saya segera berangkat ke Kawaluyaan dengan mengendarai sepeda motor. Di lokasi, puluhan personil kepolisian dari polsek dibantu Dalmas dari Polres bandung timur sudah bersiap. Adapun massa pada saat itu masih terkonsentrasi di depan mulut gang menuju masjid Sabilul Huda, sekitar 400 meter dari GOR. Kordinator aksi memang telah memberitahukan secara resmi kepada kepolisian perihal rencana aksi pada hari itu.
Baru saja saya hendak memarkirkan motor di pinggir jalan, saya dihampiri oleh Lurah setempat dan diajak masuk ke dalam rumah salah seorang warga (kalau tidak salah, beliah mantan pejabat RW setempat). Kami berbincang-bincang cukup lama. Intinya, Pak Lurah mencoba menggali informasi dari saya mengenai latar belakang dan hal-hal lainnya, terkait aksi warga. Tidak lupa Pak Lurah secara pribadi meminta saya untuk ikut menjaga serta menenangkan warga guna menghindari anarkisme.
Selesai bertukar fikiran, saya segera menuju ke GOR untuk mendahului massa yang sudah mulai berjalan pelan namun pasti dan rapi mendekati GOR, tentunya sambil membawa puluhan tulisan di atas kertas besar dan spanduk.
Di depan gerbang GOR yang terkunci, saya mendapati beberapa orang sedang berdiri menunggu warga. Saya terlebih dahulu mengenalkan diri kepada mereka. Salahsatunya kemudian mengenalkan diri sebagai intel dari Kodim, adapun yang satunya lagi ternyata penanggungjawab atau koordinator gereja bernama Sembiring.
Kami kemudian terlibat perbincangan. Satu hal yang saya tanyakan adalah mengenai kebenaran berita bahwa gereja tersebut menggunakan jasa pengamanan dari salahsatu ormas pemuda di Bandung. Mereka mengklarifikasi bahwa hal tersebut tidak benar. Saya kemudian menyarankan agar jemaat yang tengah beribadah dan para pengurus agar tetap tenang, tidak panik dan menyelesaikan ibadahnya. Saya juga menyempatkan diri untuk masuk kedalam GOR, dan di dalam saya melihat jemaat sedang khusyuk berdoa dipimpin oleh pendeta. Jelas sekali nampak dari wajah-wajah mereka pancaran ketakutan dan kecemasan yang luar biasa. Perasaan yang saya kira sangat wajar, dan akan hinggap dalam benak siapapun yang berada pada posisi seperti mereka.
Akhirnya, sampailah massa di depan GOR. Subhanallah, saya acungkan dua jempol! Kekhawatiran saya sirna seketika ketika melihat ternyata massa tidak menampakkan wajah-wajah beringas, apalagi berteriak-teriak kasar dan intimidatif. Hanya sesekali terdengar yel-yel dan teriakan takbir. Orasi lebih didominasi oleh koordinator aksi, dan massa sama sekali tidak diberikan kesempatan untuk bersikap konfrontatif. Bahkan massa kemudian duduk rapi di depan gerbang GOR.
Tuntutan massa hanya satu, yaitu penghentian kegiatan keagamaan di GOR mengingat hal tersebut dinilai menyalahi aturan dan berpotensi menimbulkan konflik dengan warga setempat. Camat yang juga kebetulan hadir kemudian didaulat untuk mengeluarkan surat keputusan atau setidaknya mendesak agar pihak GBKP pada hari itu juga menyatakan akan menghentikan kegiatan keagamaan di GOR tersebut, dengan membuat pernyataan di atas materai.
Singkat cerita, berakhirlah aksi damai warga sejalan dengan disepakatinya sebuah keputusan dari pihak GBKP untuk tidak lagi menyelenggarakan kegiatan peribadatan di GOR.
Saya yang berada di lokasi aksi -bukan dalam kapasitas sebagai apapun melainkan hanya sekedar “peninjau”- ikut menarik nafas lega karena semuanya berakhir tanpa kekerasan. Selama aksi berlangsung, berbagai perasaan berkecamuk dalam hati saya. Rasa iba, kasihan sekaligus sedih bercampur aduk. Namun saya juga tidak bisa menyalahkan sikap warga yang menolak keberadaan gereja di wilayahnya. Dari sisi hukum saja, pengalihfungsian sarana umum (GOR) menjadi rumah ibadah tanpa izin adalah tidak dibenarkan.
Namun saya juga ikut iba dan bersedih melihat wajah-wajah saudara-saudaraku yang kebetulan kristen. Wajah-wajah yang menampakkan ketakutan, kegelisahan juga kebingungan. Bingung karena mungkin mereka berfikir di mana minggu besok mereka akan menyelenggarakan peribadatan.
Saya hanya membayangkan, andai saja kita ummat Islam yang berada pada posisi sebaliknya. Kita yang minoritas, mereka yang mayoritas. Kita yang didemo dan mereka yang mendemo kita saat tengah melaksanakan salat jum’at (misalnya) di sebuah GOR dengan terpaksa, karena kita belum memiliki masjid yang representatif.
Dalam catatan ini, pertama saya ingin mengucapkan penghargaan kepada warga kawaluyaan yang telah dapat menjaga ketertiban dan keamanan selam aksi berlangsung. Insya Allah, apa yang anda sekalian lakukan itu muncul dari dorongan niat karena Allah. Semoga Allah membalasnya.
Untuk saudara-saudaraku umat kristen, khususnya GBKP Kawaluyaan, saya atas nama pribadi mengucapkan permohonan maaf atas ketidaknyamanan dan hujan kegelisahan yang anda rasakan saat aksi berlangsung. Semoga anda menemukan tempat lain yang lebih baik.
Sebagai penutup catatan ini, saya tegaskan bahwa saya tidak dalam posisi membela siapapun atau memberikan pembenaran kepada pihak manapun. Saya hanya seorang muslim Indonesia yang memiliki sejuta mimpi, agar di bumi pertiwi ini tidak ada satupun anak bangsa yang merasa tersakiti, diperlakukan tidak adil atau merasa dipinggirkan. Andai saja saya presidennya… hehehehe…
Sumber: http://aulahikmah.wordpress.com/2007/12/04/saudaraku-kristen-maafkan-saya/
Dibata gelah simasu-masu kita. Bujur man Dibata, bujur man banta kerina. Amin.
Tabi ras Mejuah-juah,
Pt.Mascottaria Purba
http://gbkpinfo.to.md
mascot.taria@gmail.com (YM: mascottaria)
No comments:
Post a Comment